Senin, 02 Maret 2009

RUBELLA

May 21, 2008 | Filed Under Medical, referat |

*) Ashadi

I. PENDAHULUAN

Rubella atau Campak Jerman merupakan penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejala?gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak (rubeola) ringan atau demam skarlet, dan pembesaran serta riveri limfonodi pascaoksipital, retroaurikuler, dan servikalis posterior. Campak Jerman atau rubela ini biasanya hanya menyerang anak-anak sampai usia belasan tahun. Tapi, bila penyakit ini menyerang anak yang lebih tua dan dewasa, terutarna wanita dewasa, infeksi kadang?kadang dapat berat, dengan manifestasi keterlibatan sendi dan purpura. Dan bila bila penyakit ini menyerang ibu yang sedang mengandung dalam tiga bulan pertama, bisa menyebabkan cacat bayi waktu dilahirkan.

Rubella pada awal kehamilan dapat menyebabkan anomali kongenital berat. Sindrom rubella kongenital adalah penyakit menular aktif dengan keterlibatan multisistem, spektrum ekspresi klinis luas, dan periode infeksi aktif pascalahir dengan pelepasan virus yang lama

II. INSIDENS

Anak laki?laki dan wanita sama?sama terkena. Pada po­pulasi yang rapat seperti institusi dan Asrama tentara, hampir 100% dari individu yang rentan dapat terinfeksi. Pada keLom­pok keluarga penyebaran virus kurang: 50?60% anggota ke­luarga yang rentan mendapat penyakit. Banyak infeksi yang subklinis, dengan rasio 2:1 antara penyakit yang tidak tampak dengan penyakit yang tarnpak. Rubella biasanya terjadi sela­ma inusim semi.

Pemeriksaan serologis sebelum penggunaan vaksin rubella rnenunjukkan bahwa sekitar 80% populasi dewasa di Amerika Serikat dan benua lain mempunyai antibodi terhadap rubella. Di populasi pulau, seperti populasi Trinidad dan Hawaii, hanya 20% dari orang dewasa yang diperiksa dapat dideteksi antibodi.

Ketika wabah rubela merebak di Amerika Serikat pada tahun 1967-1965, lebih 20,000 bayi telah dilahirkan cacat. Wabah Rubela juga dikatakan menyebabkan sekurang-kurangnya 10,000 kasus keguguran dan bayi yang lahir mati saat dilahirkan. Diperkirakan 25 % bayi yang terinfeksi rubela pada tiga bulan pertama usia kandungan dilahirkan dengan satu jenis atau lebih kecacatan.

Pada tahun 1989 – 1990 sejumlah kasus rubella menyerang lebih banyak pada anak remaja di atas umur 15 tahun dan dewasa diperkirakan karena kegagalan vaksinasi pada setiap individu. Resiko terserang rubella kembali menurun untuk semua umur dan dilaporkan kasus di Amerka Serikat pada tahun 1999 sebanyak 267.

III. ETIOLOGI

Rubella disebabkan oleh virus yang mengandung RNA pleomorfik, yang sekarang didaftar pada famili Togaviridae, genus Rubivirus. Virus ini sferis, berdiameter 50-60 nm, dan berisi asam ribonukleat helai-tunggal. Virus biasanya diisolasi pada biakan jaringan, dan keberadanya diperagakan oleh kemampuan sel ginjal kera hijau Afrika (African green monkey kidney) [AGMK] terinfeksi rubella menahan tantangan dengan enterovirus. Selama penyakit klinis virus berada dalam sekresi nasofaring, darah, tinja, dan urin. Virus telah ditemukan dari nasofaring 7 hari sebelum eksantem, dan 7?8 hari sesudah menghilangnya. Penderita dengan penyakit subklinis juga infeksius.

IV. PATOFISIOLOGI

Daerah utama yang terinfeksi oleh rubella adalah nasofaring kemudian menyebar ke kelenjar getah bening secara cepat dan viremia. Ruam nampak akibat titer serum antibody meningkat dan mempengaruhi antigen-antibodi dan berinteraksi di kulit. Virus telah dapat ditemukan diseluruh kulit baik yang terlibat maupun yang tidak selama masa infeksi, dan penyebarannya karena factor lain yang mungkin berperan dalam patogenesis eksantem. Antibody HAI mencapai puncaknya pada hari 12 – 14 setelah timbulnya ruam dan akan kembali stabil setelah kira-kira 2 minggu kemudian.

Virus rubella mempunya 3 polipeptida mayor yang mencakup 1 kapsid protein dan 2 amplop glikoprotein E1 dan E2. Antibodi anti-E1 mungkin memegang peranan utama dalam respon serologik.

V. GEJALA KLINIS

Keluhan yang dirasakan biasanya lebih ringan dari penyakit campak. Bercak-bercak mungkin juga akan timbul tapi warnanya lebih muda dari campak biasa. Biasanya, bercak timbul pertama kali di muka dan leher, berupa titik-titik kecil berwarna merah muda. Dalam waktu 24 jam, bercak tersebut menyebar ke badan, lengan, tungkai, dan warnanya menjadi lebih gelap. Bercak-bercak ini biasanya hilang dalam waktu 1 sampai 4 hari.

Masa inkubasi adalah 14?21 hari. Tanda yang paling khas adalah adenopati retroaurikuler, servikal posterior, dan di belakang oksipital. Enantem mungkin muncul tepat sebelum mulainya ruam kulit. Ruam ini terdiri dari bintik?bintik merah tersendiri pada palatum molle yang dapat menyatu menjadi warna kemerahan jelas pada sekitar 24jam sebelum ruam.

Eksantemnya lebih bervariasi daripada eksantem rubeola. Eksantem pada muka dan menyebar dengan cepat. Evolusinya begitu cepat sehingga dapat menghilang pada muka pada saat ruam lanjutannya muncul pada badan. Makulopapula tersendiri ada pada sejumlah kasus; ada juga daerah kemerahan yang luas yang menyebar dengan cepat ke seluruh badan, biasanya dalam 24 jam. Ruam dapat menyatu, terutama pada muka. Selama hari kedua ruam dapat mempunyai gambaran sebesar ujung jarum, terutama di seluruh tubuh, menyerupai ruam demam scarlet. Dapat terjadi gatal ringan. Erupsi biasanya jelas pada hari ke 3.

Mukosa faring dan konjungtiva sedikit meradang. Berbeda dengan rubeola, tidak ada fotofobia. Demam ringan atau tidak selama ruam dan menetap selama 1, 2 atau kadang?kag 3 hari. Suhu jarang melebihi 38oC (101oF). Anoreksia, nyeri kepala, dan malaise tidak biasa. Limpa. sering sedikit membesar. Angka sel darah putih normal atau sedikit menurun, trombositopeni jarang, dengan atau tanpa purpura. Terutama pada wanita yang lebih tua dan wanita dewasa, poliartritis dapat terjadi dengan artralgia, pembengkakan, nyeri dan efusi tetapi biasanya tanpa sisa apapun. Setiap sendi dapat terlibat, tetapi sendi?sendi kecil tangan paling sering terkena. Lamanya biasanya beberapa hari; jarang artritis ini menetap selama berbulan?bulan. Parestesia juga telah dilaporkan. Pada satu epidemi orkidalgia dilaporkan pada sekitar 8% orang laki-laki usia perguruan tinggi yang terinfeksi.

VI. DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosa pasti suatu rubella, dapat dilakukan dengan isolasi virus, hanya saja ini sulit dilakukan dan biayanya juga mahal atau dapat pula dengan titer antibodi. Tes yang biasa dilakukan adalah tes ELISA untuk antibodi IgG dan IgM. Antibodi rubella dapat ditemukan pada hari kedua ruam dan mengalami peningkatan pada hari 10 – 21. biopsy jaringan atau darah dan CSF dapat pula digunakan untuk menunjukkan adanya antigen rubella dengan antibodi monoklonal dan untuk mendeteksi RNA rubella dengan hibridisasi dan reaksi polymerase berantai dari tempat asal.

VII. DIAGNOSIS BANDING

Karena gejala serupa dan ruam da­pat terjadi pada banyak infeksi virus yang lain, rubella merupakaan penyakit yang sukar untuk didiagnosis secara klinis kecuali bila penderita ditemukan selama epidemi. Riwayat te­lah mendapat rubella atau vaksin rubella tidak dapat dipercaya; Imunitas harus ditentukan dengan uji untuk antibodi. Terutama pada bentuk lebih berat, rubella dapat terancukan dengan tipe dernam skarlet dan rubeola ringan.

Roseola infantum (eksantema subitum) dibedakan dari rubella oleh keparahan demamnya dan oleh munculnya ruam pada akhir episode demam bukannya pada saat gejala-gejala dan tanda?tandanya sedang naik.

Ruam karena obat mungkin sangat sukar dibedakan dari rubella. Pembesaran khas limfonodi sangat mendukung diagnosis rubella. Pada mononukleosis infeksiosa ruam dapat terjadi menverupai ruam rubella, dan pembesaran limfonodi pada setiap penyakit dapat menimbulkan kerancuan. Tanda?tanda hematologik mononukleosis infeksiosa akan cukup membedakan dua penyakit tersebut. Infeksi enterovirus yang disertai dengan ruam dapat dibedakan dari beberapa keadaan pada manifestasi pernafasan atau saluran cerna dan tidak adanya adenopati retroaurikuler.

VIII. PENGOBATAN

Jia tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simptomatis. Adamantanamin hidroklorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro dalam menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakkan. Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita rubella congenital dengan obat ini tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil, penggunaannya amat terbatas. Interferon dan isoprinosin telah digunakan dengan hasil yang terbatas.

Pencegahan

Pada orang yang rentan, proteksi pasif dari atau pelemahan penyakit dapat diberikan secara bervariasi dengan injeksi intramuskuler globulin imun serum (GIS) yang diberikan dengan dosis besar (0,25?0,50 mL/kg atau 0,12?0,20 mL/lb) dalam 7?8 hari pasca pemajanan. Efektiviias globulin imun tidak dapat diramalkan. Tampaknya tergantung. pada kadar antibodi produk yang digunakan dan pada faktor yang belum diketahui. Manfaat GIS telah dipertanyakan karena pada beberapa keadaan ruam dicegah dan manifestasi klinis tidak ada atau minimal walaupun virus hidup dapat diperagakan dalam darah. Bentuk pencegahan ini tidak terindikasi, kecuali pada wanita hamil nonimun.

Program vaksinasi atau imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap rubella. Di Amerika Serikat mengharuskan untuk imunisasi sernua laki?laki dan wanita umur 12 dan 15 bulan serta pubertas dan wanita pasca pubertas tidak hamil. Imunisasi adalah efektif pada umur 12 bulan tetapi mungkin tertunda sampai 15 bulan dan diberikan sebagai vaksin cam­pak?parotitis?rubella (measles?mumps?rubella [MMR]). Imunisasi rubella harus diberikan pada wanita pasca pubertas yang kemungkinan rentan pada setiap kunjungan perawatan kese­hatan. Untuk wanita yang mengatakan bahwa mereka mungkin hamil imunisasi harus ditunda. Uji kehamilan tidak secara rutin diperlukan, tetapi harus diberikan nasehat mengenai sebaiknya menghindari kehamilan selama 3 bulan sesudah imunisasi. Kebijakan imunisasi sekarang telah berhasil memecahkan siklus epidemic rubella yang biasa di Amerika Serikat dan menurunkan insiden sindrom rubella kongenital yang dilaporkan pada hanya 20 kasus pada tahun 1994. Namun imunisasi ini tidak mengakibatkan penurunan presentase wanita usia subur yang rentan terhadap rubella.

IX. PROGNOSIS

Kornplikasi relatif tidak lazim pada anak. Neuritis dan artritis kadang?kadang terjadi. Resistensi terhadap infeksi bakteri sekunder tidak berubah. Ensefalitis serupa dengan ensefalitis yang ditemukan pada rubeola yang terjadi pada sekitar 1/6.000 kasus. Prognosis rubella anak adalah baik; sedang prognosis rubella kongenital bervariasi menurut keparahan infeksi. Hanya sekitar 30% bayi dengan ensefalitis tampak terbebas dari defisit neuromotor, termasuk sindrom autistik.

Kebanyakan penderitanya akan sembuh sama sekali dan mempunyai kekebalan seumur hidup terhadap penyakit ini. Namun, dikhawatirkan adanya efek teratogenik penyakit ini, yaitu kemampuannya menimbulkan cacat pada janin yang dikandung ibu yang menderita rubella.

Cacat bawaan yang dibawa anak misalnya penyakit jantung, kekeruhan lensa mata, gangguan pigmentasi retina, tuli, dan cacat mental. Penyakit ini kerap pula membuat terjadinya keguguran.

Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi

May 22, 2008 | Filed Under Medical, referat |

*) Ashadi

PENDAHULUAN

Ansietas merupakan satu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai dengan gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan berlebihandari susunan saraf autonomic (SSA). Ansietas merupakan gejala yang umum tetapi non-spesifik yang sering merupakan satu fungsi emosi. Sedangkan depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya termasuk perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

ETIOLOGI

Penyebab gangguan ini kurang jelas. Gejala muncul biasanya disebabkan interaksi dari aspek-aspek biopsikososial termasuk genetik dengan beberapa situasi, stres atau trauma yang merupakan stressor muneulnya gejala ini. Di sistem saraf pusat beberapa mediator utama dari gejala ini adalah. norepinephrine dan serotonin. Sebenarnya anxietas diperantarai oleh suatu system kompleks yang melibatkan system limbic, thalamus, korteks frontal secara anatomis dan norepinefrin, serotonin dan GABA pada sistem neurokimia, yang mana hingga saat ini belum diketahui jelas bagaimana kerja bagian-bagian tersebut menimbulkan anxietas. Begitu pula pada depresi walapun penyebabnya tidak dapat dipastikan namun biasanya ditemukan defisensi relatif salah satu atau beberapa aminergic neurotransmitter (noeadranaline, serotonin, dopamine) pada sinaps neuron di susunan saraf pusat khususnya sistem limbic

DIAGNOSISBerdasarkan PPDGJ-III kriteria diagnostik untuk gangguan campuran anxietas dan depresi adalah sebagai berikut:

• Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, di mana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.

• Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan, maka harus dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya atau gangguan anxietas fobik.

• Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup berat untuk menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan.

• Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stress kehidupan yang jelas, maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian.

GAMBARAN KLINIS

Ansietas dan gangguannya dapat menampilkan diri dalam berbagai tanda dan gejala fisik dan psikologik seperti gemetar, renjatan, rasa goyah, nyeri punggung dan kepala, ketegangan otot, napas pendek, mudah lelah, sering kaget, hiperaktivitas autonomik seperti wajah merah dan pucat, takikardi, palpitasi, berkeringat, tangan rasa dingin, diare, mulut kering, sering kencing. Rasa takut, sulit konsentrasi, insomnia, libido turun, rasa mengganjal di tenggorok, rasa mual di perut dan sebagainya.Gejala utama dari depresi adalah afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) serta menurunnya aktivitas. Beberapa gejala lainnya dari depresi adalah:

• konsentrasi dan perhatian berkurang;

• harga diri dan kepercayaan diri berkurang;

• gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;

• pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;

• gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;

• tidur terganggu;

• nafsu makan berkurang.

Untuk gangguan campuran anxietas dan depresi, kedua gejala baik gejala anxietas maupun gejala depresi tetap ada namun kedua-duanya tidak menunjukkan gejala yang cukup berat atau lebih menonjol antara satu dengan lainnya. 3,4,6,7

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding gangguan campuran anxietas dan depresi hampir semua kondisi medis yang menyebabkan kecemasan. Mengingat keadaan cemas biasanya disertai dan diikuti dengan gejala depresi. Untuk diagnosis dibutuhkan penentuan kreteria yang tepat antara berat ringannya gejala, penyebab serta perlangsungan dari gejala apakah sementara atau menetap. Pada gangguan cemas lainnya biasanya depresi adalah bentuk akhir bila penderita tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pada cemas menyeluruh depresi biasanya bersifat sementara dan lebih ringan gejalanya dibanding anxietas, gangguan penyesuaian memiliki gejala yang jelas berkaitan erat dengan stres kehidupan.

TERAPI

Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan campuran anxietas dan depresi adalah kemungkinan pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapetik, farmakoterapetik, dan pendekatan suportif. Pengobatan mungkin memerlukan cukup banyak waktu bagi klinisi yang terlibat, terlepas dari apakah klinisi adalah seorang dokter psikiatrik, seorang dokter keluarga, atau spesialis lainnya.

Psikoterapi

Pendekatan psikoterapetik utama untuk gangguan kecemasan umum adalah kognitif-perilaku, suportif, dan berorientasi-tilikan. Data masih terbatas tentang manfaat relatif dari pendekatan-pendekatan tersebut, walaupun penelitian yang paling canggih telah dilakukan dengan teknik kognitif-perilaku, yang tampaknya memiliki kemanjuran jangka panjang dan jangka pendek. Pendekatan kognitif secara langsung menjawab distorsi kognitif pasien yang dihipotesiskan, dan pendekatan perilaku menjawab keluhan somatik secara langsung. Teknik utama yang digunakan dalam pendekatan kognitif dan perilaku adalah lebih efektif dibandingkan teknik tersebut jika digunakan sendiri-sendiri. Tetapi suportif menawarkan ketentraman dan kenyamanan bagi pasien, walaupun manfaat jangka panjangnya adalah meragukan. Psikoterapi berorientasi-tilikan memusatkan untuk mengungkapkan konflik bawah sadar dan mengenali kekuatan ego. Manfaat psikoterapi berorientasi-tilikan untuk gangguan kecemasan umum dilaporkan pada banyak kasus anekdotal, tetapi tidak terdapat penelitian besar yang terkendali.

Sebagian besar pasien mengalami kekenduran keeemasan yang jelas jika diberikan kesempatan untuk membicarakan kesulitannya dengan dokter yang prihatin dan simpatik. Jika klinisi menemukan situasi eksternal yang menyebabkan kecemasan, klinisi mungkin mampu — sendirian atau dengan bantuan pasien atau keluarganya — untuk mengubah lingkungan dan dengan demikian menurunkan tekanan yang penuh ketegangan. Penurunan gejala seringkali memungkinankan pasien untuk berfungsi secara efektif dalam pekerjaan dan hubungannya sehari-hari, yagn memberikan kesenangan dan pemuasan baru yang dengan sendirinya bersifat terapetik.

Pandangan psikoanalitik adalah bahwa dalam kasus tertentu kecemasan adalah suatu sinyal dari kekacauan bawah sadar yang memerlukan pemeriksaan. Kecemasan dapat normal, adaptif, maladaptif, terlalu kuat, atau terlalu iingan, tergantung pada keadaan. Kecemasan tampak dalam berbagai situasi selama peijalanan siklus hidup seseorang; pada banyak kasus, pengurangan gejala bukan merupakan tujuan tindakan yang paling tepat.

Bagi pasien yang secara psikologis bermaksud dan termotivasi untuk mengerti sumber kecemasannya, psikoterapi mungkin merupakan pengobatan terpilih. Tetapi psikodinamika bekerja dengan anggapan bahwa keeemasan mungkin meningkat pada pengobatan yang efektif. Tujuan pendekatan dinamika adalah untuk meningkatkan toleransi kecemasan pasien (didefmisikan sebagai kemampuan untuk mengalami kecemasan tanpa hares melampiaskannya), bukannya untuk menghilangkan kecemasan. Penelitian empiris menyatakan banyak pasien yang menjalani psikoterapetik secara berhasil mungkin terus mengalami kecemasan setelah dihentikannya psikoterapi. Tetapi, peningkatan penguasaan ego memungkinkan mereka untuk menggunakan gejala kecemasan sebagai sinyal untuk mencerminkan perjuangan hidup dan untuk meluaskan tilikan dan pengertian mereka. Suatu pendekatan psikodinamika pada pasien dengan gangguan kecemasan umum melibatkan pencarian rasa takut pasien yang mendasarinya.

Farmakoterapi

Keputusan untuk meresepkan suatu obat pada pasien dengan gangguan kecemasan campuran anxietas dan depresi hams jarang dilakukan pada kunjungan pertama. Karena sifat gangguan yang berlangsung lama, suatu rencana pengobatan hares dengan cermat dijelaskan. Dua golongan obat utama yang dipakai dalam pengobatan gangguan anxietas adalah Benzodiazepine dan Non-Benzodiazepine, dengan Benzodiazepine sebagai pilihan utama. Sedang untuk depresi dipakai golongan Trisiklik, Tetrasiklik, MAOI-reversible, SSRI, dan Atypical anti depresi. Dimana SSRI menjadi pilihan utama.

Benzodiazepine (Diazepam). Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum. Benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mans pendekatan terapetik psikososial diterapkan.

Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzadiazepin dalam gangguan anxietas. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dapat terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan, dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.

Keputusan klinis untuk memulai terapi dengan benzodiazepin hares dipertimbangkan dan spesifik. Diagonosis pasien, gejala sasaran spesifik, dan lamanya pengobatan — semuanya hares ditentukan, dan harus diberikan informasi kepada pasien. Pengobatan untuk sebagian besar keadaan kecemasan berlangksung selama dua sampai enam minggu, diikuti oleh satu atau dua minggu menurunkan obat perlahan-lahan (tapering) sebelum akhirnya obat dihentikan. Kekeliruan klinis yang sering dengan terapi benzodiazepin adalah dengan memutuskan secara pasif untuk melanjutklan pengobatan atas dasar tanpa batas.

Untuk pengobatan kecemasan, biasanya memulai dengan obat pada rentang rendah terapetiknya dan meningkatkan dosis untuk mencapai respon terapetik. Pemakaian benzodiazepin dengan waktu paruh sedang (8 sampai 15 jam) kemungkinan menghindari beberapa efek merugikan yang berhubungan dengan penggunaan benzodiazepin dengan waktu paruh panjang. Pemakaian dosis terbagi mencegah perkembangan efek merugikan yang berhubungan dengan kadar plasma puncak yang tinggi. Perbaikan yang didapatkan dengan benzodiazepin mungkin lebih dan sekedar efek antikecemasan. Sebagai contohnya, obat dapat menyebabkan pasien memandang berbagai kejadian dalam pandangan yang positif. Obat juga dapat memiliki kerja disinhibisi ringah, serupa dengan yang dilihat setelah sejumlah kecil alkohol. Untuk diazepam sediaan tab. 2-5mg, ampul 10 mg/2cc dosis anjuran l0-30mg/hari 2-3xsehari, i.v./i.m 2-10mg /3-4 jam.

Non-Benzodiazepine (Buspirone). Buspirone kemungkinan besar efektif pada 60 sampai 80 persen pasien dengan gangguan cemas. Data menyatakan bahwa buspirone adalah lebih efektif dalam menurunkan gejala kognitif dari gangguan kecemasan umum dibandingkan dengan menurunkan gejala somatik. Bukti-bukti juga menyatakan bahwa pasien yang sebelumnya telah diobati dengan benzodiazepin kemungkinan tidak berespon dengan pengobatan buspirone. Tidak adanya respons tersebut mungkin disebabkan oleh tidak adanya efek nonansiolitik dari benzodiazepin (seperti relaksasi otot dan rasa kesehatan tambahan), yang terjadi pada terapi buspirone. Namun demikian, rasio manfaat-risiko yang lebih balk, tidak adanya efek kognitif dan psikomotor, dan tidak adanya gejala putus that menyebabkan buspirone merupakan obat lini pertama dalam pengobatan gangguan kecemasan umum. Kerugian utama dari buspirone adalah bahwa efeknya memerlukan dua sampai tiga minggu sebelum terlihat, berbeda dengan efek ansiolitik benzodiazepin yang hampir segera terlihat. Buspirone bukan merupakan terapi efektif untuk putus benzodiazepin. Sediaan tab. 10mg dosis anjuran 3×25mg/h.

Anti-Depresi. mekanisme kerja Obat Anti-depresi, adalahmenghambat “re-uptake aminergic neurotransmitter”, menghambat penghancuran oleh ensirn “Monoamine Oxidase” Sehingga terjadi peningkatan jurnlah “arninergic neurotransmitter” pada sinaps neuron di SSP. Efek samping Obal Anti-depresi dapat berupa :

Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif rnenurun, d11)

Efek Antikolinergik (mulut keying, retensi urin, penglihatan kabur., konstipasi, sinus takikardia, dsb)

Efek Anti-adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi)

Efek Nourotoksis (tremor halus, gelisah, agitasi,insomnia)

Efek samping yang tidak berat biasanya berkurang setelah 2-3 minggu. SSRI dipilih mengingat efek samping yang ditimbulkan relatif lebih ringan.namun obat ini memiliki harga yang mahal oleh karenanya trisiklik masih sering digunakan. Contoh obat golongan ini adalah fluoxetine,sertraline,paroxetine,citalopram,fluvoxamine. 2.4.6,7,8

PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS

Perjalanan klinis dan prognosis gangguan adalah sukar untuk diperkirakan. Namun demikian, beberapa data menyatakan peristiwa kehidupan berhubungan dengan onset gangguan ini. Terjadinya beberapa peristiwa kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya gangguan. Hal ini berkaitan pula dengan berat-ringannya gangguan tersebut.

KESIMPULAN

Gangguan campuran anxietas dan depresi adalah gangguan jiwa yang umum terjadi di masyarakat. Pada gangguan anxietas terdapat pembagian gangguan campuran dan depresi (F41.2) sebagai salah satu bentuk dan gangguan anxietas lainnya Anxietas adalah respon normal individu terhadap ancaman atau stresor. Bila anxietas menjadi begitu parah atau timbul tanpa diprovokasi oleh suatu keadaan tidak berbahaya, maka keadaan anxietas tersebut menjadi gangguan

Penyebab gangguan ini adalah tidak jelas. diperantarai oleh suatu system kompleks yang melibatkan system limbic,thalamus, korteks frontal secara anatomis dan norepinefrin, serotonin dan GABA pada system neurokimia, yang man hingga saat ini belum diketahui jelas bagaimana kerja bagian-bagian tersebut

Diagnostik untuk gangguan campuran anxietas dan depresi adalah terdapat gejala-­gejala anxietas maupun depresi, di mana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.

Untuk diagnosis dibutuhkan penentuan kreteria yang tepat antara berat ringannya gejala, penyebab serta perlangsungan dan gejala apakah sementara atau menetap.

Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan campuran anxietas dan depresi adalah kemungkinan pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapetik, farmakoterapetik, dan pendekatan suportif.

Perjalanan klinis dan prognosis gangguan sukar untuk diperkirakan berkaitan pula dengan berat-ringannya gangguan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan H, Sadock B, Grebb J. Kaplan dan Sadock: Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis. Edisi Ketujuh. Jilid Dua. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997.

2. Tomb D. Buku Saku Psikiatri. Edisi Enam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.

3. WHO. PPDGJ III. Cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; 1993

4. Kay J, Tasman A. Essentials of Psychiatry. England: John Wiley& Sons Ltd; 2006

5. Kumar P, Clark M. Kumar&Clark Clinical Medicine. 5th ed. UK: WB Saunders; 2002

6. Yates R W. Anxiety Disorders. [online]. 2007 Aug 23 [cited 2008 Feb 18]; [14 screens]. Available from http://www.emedicine.com/emerg/topic152.htm

7. Ravinder N Bhalla, MD. Depression. [online]. 2006 Oct 30 [cited 2008 Feb 181; [14 screens]. Available from http://www.emedicine.com/emerg/topic532.htm

8. Kaplan H, Sadock B, Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat Widya Medika, Jakarta, 1998

DIABETES MELITUS DAN PENATALAKSANAANYA

June 1, 2008 | Filed Under Medical, referat | No Comments

Abstrak

Penyakit diabetes melitus (DM) adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang, disebabkan karena adanya peningkatan kadar gula atau glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Apabila penyakit ini dibiarkan tidak terkendali, akan menimbulkan komplikasi-komplikasi yang dapat berakibat fatal. Hal ini tidak akan terjadi apabila DM diketahui lebih awal dan penderita patuh terhadap pengobatan yang ditetapkan. Terdapat empat pilar penatalaksanaan penderita DM agar dapat menikmati hidupnya dengan nikmat yaitu: penyuluhan, perencanaan makan, latihan jasmani dan Obat berkhasiat hipoglikemik

A. Definisi
Diabetes Melitus berasal dari kata diabetes yang berarti kencing dan melitus dalam bahasa latin yang berarti madu atau mel (Hartono, 1995). Penyakit ini merupakan penyakit menahun yang timbul pada seseorang disebabkan karena adanya peningkatan kadar gula atau glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2002).
DM tipe II adalah DM yang pengobatannya tidak tergantung pada insulin, umumnya penderita orang dewasa dan biasanya gemuk serta mudah menjadi koma (Soesirah, 1990).

B. Etiologi
Diabetes Mellitus dibedakan menjadi dua yaitu Tipe I atau IDDM ( Insulin-Dependen DM) dan Tipe II atau NIDDM (Non Insulin-Dependent DM). DM tipe I atau IDDM terjadi akibat kekurangan insulin karena kerusakan sel beta pankreas (Moore,1997). Sedangkan DM tipe II disebabkan oleh berbagai hal seperti bertambahnya usia harapan hidup, berkurangnya kematian akibat infeksi dan meningkatnya faktor resiko akibat cara hidup yang salah seperti kegemukan, kurang gerak, dan pola makan yang tidak sehat (Suyono, 2002).

C. Patofisiologi
Insulin memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat, yaitu bertugas memasukan glukosa ke dalam sel dan digunakan sebagai bahan bakar. Insulin diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, yang kemudian di dalam sel tersebut glukosa akan dimetabolisme menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk ke sel, yang mengakibatkan glukosa tetap berada di dalam pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat (Suyono,2002).
Pada DM tipe II, jumlah insulin normal atau mungkin jumlahnya banyak, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat dalam permukaan sel berkurang. Akibatnya glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat (Suyono, 2002).

D. Gejala
1) Gejala akut
Pada tahap permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi: banyak makan atau polifagia, banyak minum atau polidipsia, dan banyak kencing atau poliuria. Pada fase ini, biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus naik, karena pada saat ini jumlah insulin masih mencukupi (Tjokroprawiro, 2001).
2) Gejala Kronik
Gejala kronik yang sering timbul adalah kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal dikulit, kram, lelah, mudah mengantuk, mata kabur, gatal disekitar kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun, pada ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Tjokroprawiro, 2001).

E. Diagnosis
Menurut Suyono (2002), diagnosis diabetes dipastikan bila:
1). Kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dL atau lebih ditambah gejala khas diabetes.
2). Glukosa darah puasa 126 mg/dL atau lebih pada dua kali pemeriksaan pada saat berbeda.
Bila ada keraguan, perlu dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) atau yang populer disebut OGTT (Oral Glukose Tolerance Test) dengan mengukur kadar glukosa puasa dan 2 jam setelah minum 75 g glukosa (Suyono, 2002).

F. Komplikasi
Komplikasi DM dapat muncul secara akut dan kronik.
1) Komplikasi Akut
a) Reaksi Hipoglikemia
Reaksi hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda: rasa lapar, gemetar, keringat dingin, pusing. Jika keadaan ini tidak segera diobati, penderita dapat menjadi koma. Karena koma pada penderita disebabkan oleh kekurangan glukosa di dalam darah,maka koma disebut “Koma Hipoglikemik”.
b) Koma diabetik
Koma diabetik timbul karena kadar glukosa di dalam darah terlalu tinggi, dan biasanya lebih dari 600 mg/dL. Gejala yang sering timbul adalah: nafsu makan menurun, haus, minum banyak, kencing banyak, disusul rasa mual, muntah, nafas penderita menjadi cepat dan dalam serta berbau aseton, dan sering disertai panas badan karena biasanya terdapat infeksi (Tjokroprawiro, 1998).

2) Komplikasi Kronis
Menurut Pranadji (2000), komplikasi kronis meliputi:
a. Komplikasi mikrovaskuler
• Komplikasi mikrovaskuler adalah komplikasi pada pembuluh darah kecil, diantaranya:
• Retinopati diabetika, yaitu kerusakan mata seperti katarak dan glukoma atau meningkatnya tekanan pada bola mata. Bentuk kerusakan yang paling sering terjadi adalah bentuk retinopati yang dapat menyebabkan kebutaan.
• Nefropati diabetika, yaitu gangguan ginjal yang diakibatkan karena penderita menderita diabetes dalam waktu yang cukup lama.
• Neuropati diabetika yaitu gangguan sistem syaraf pada penderita DM. Indera perasa pada kaki dan tangan berkurang disertai dengan kesemutan, perasaan baal atau tebal serta perasaan seperti terbakar.

b. Komplikasi makrovaskuler
Komplikasi makrovaskuler adalah komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri yang lebih besar, sehingga menyebabkan atherosklerosis. Akibat atherosklerosis antara lain timbul penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, dan gangren pada kaki.
G. Penatalaksanaan
Pengobatan DM menurut Perkeni (1998) dikenal dengan empat pilar utama pengelolaan DM, yang meliputi :.
1) Penyuluhan
Penyuluhan untuk rencana pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan ketrampilan bagi pasien diabetes, yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakit DM, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang optimal (Perkeni,1998). Sukardji (2002) mengatakan bahwa penyuluhan sangat diperlukan agar pasien mematuhi diet.

2) Perencanaan makan
a) Tujuan diet
Menurut Pranadji (2000), tujuan diet DM adalah membantu diabetesi atau penderita diabetes memperbaiki kebiasaan gizi dan olah raga untuk mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik, serta beberapa tujuan khusus yaitu:
(1) Memperbaiki kesehatan umum penderita,
(2) Memberikan jumlah energi yang cukup untuk memelihara berat badan ideal atau normal.
(3) Memberikan sejumlah zat gizi yang cukup untuk memelihara tingkat kesehatan yang optimal dan aktivitas normal.
(4) Menormalkan pertumbuhan anak yang menderita DM.
(5) Mempertahankan kadar gula darah sekitar normal.
(6) Menekan atau menunda timbulnya penyakit angiopati diabetik.
(7) Memberikan modifikasi diet sesuai dengan keadaan penderita, misalnya sedang hamil, mempunyai penyakit hati, atau tuber kolosis paru.
(8) Menarik dan mudah diterima penderita.

b) Prinsip Diet
Prinsip pemberian makanan bagi penderita DM adalah mengurangi dan mengatur konsumsi karbohidrat sehingga tidak menjadi beban bagi mekanisme pengaturan gula darah. (Pranadji, 2000).
c) Syarat Diet
Menurut Pranadji (2000), syarat diet DM antara lain:
(1) Jumlah energi ditentukan menurut umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan, aktivitas, suhu tubuh dan kelainan metabolik.
Untuk kepentingan klinik praktis, kebutuhan energi dihitung berdasarkan status gizi penderita, dengan rumus Broca, yaitu :
BB idaman = (TB – 100) – 10%
Status gizi : - Berat badan kurang = 120% BB idaman
Jumlah energi yang dibutuhkan =
Laki-laki: BBI x (30 kkal/kg BB) + Aktivitas (10-30%) + koreksi status gizi
Perempuan: BBI x (25 kkal/kg BB) + Aktivitas (10-30%) +koreksi status gizi
Koreksi status : - gemuk dikurangi
- kurus ditambah (Perkeni, 1998)
(2) Hidrat arang diberikan 60-70% dari total energi, disesuaikan dengan kesanggupan tubuh untuk menggunakannya.
(3) Makanan cukup protein dianjurkan 12% dari total energi.
(4) Cukup vitamin dan mineral.
(5) Pemberian makanan disesuaikan dengan macam obat yang diberikan (Persagi, 1999).
(6) Lemak dianjurkan 20–25% dari total energi.
(7) Asupan kolesterol hendaknya dibatasi, tidak lebih dari 300/mg perhari.
(8) Mengkonsumsi makanan yang berserat,anjuranya adalah kira-kira 25g/hari dengan mengutamakan serat larut.

d) Makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan
Semua bahan makanan boleh diberikan dalam jumlah yang telah ditentukan kecuali gula murni seperti terdapat pada: gula pasir, gula jawa, gula batu, sirop, jam, jelly, buah-buahan yang diawet dengan gula, susu kental manis, minuman botol ringan, es krim, kue-kue manis, dodol, cake, tarcis, abon, dendeng, sarden dan semua produk makanan yang diolah dengan gula murni.

e) Macam diet
Menurut Persagi (1999), pedoman diet bagi penderita DM dapat dilihat seperti dalam Tabel 1.
Tabel 1.
MACAM DIET UNTUK PENDERITA DM
Macam Diet I II III IV V VI VII VIII

Energi (kal) 1100 1300 1500 1700 1900 2100 2300 2500

Protein (gr) 50 55 60 65 70 80 85 90

Lemak (gr) 30 35 40 45 50 55 65 65

Hidrataran (gr) 160 195 225 260 300 325 350 390

Sumber : Persagi, 1999

Diet I s/d III : diberikan kepada penderita yang terlalu gemuk
Diet IV s/d V : diberikan kepada penderita yang mempunyai berat badan normal
Diet VI s/d VIII : diberikan kepada penderita yang kurus, diabetes remaja atau juvenille diabetes serta diabetes dengan komplikasi.

f) Standar diet
Untuk perencanaan pola makan sehari, pasien diberi petunjuk berupa kebutuhan bahan makanan setiap kali makan dalam sehari dalam bentuk penukar. Makanan sehari-hari pasien dapat disusun berdasarkan pola makan pasien dan daftar bahan makanan penukar (Sukardji, 2002).

g) Daftar Bahan Makanan Penukar
DBMP adalah suatu daftar yang memuat nama bahan makanan dengan ukuran tertentu dan dikelompokan berdasarkan kandungan energi, protein, lemak dan hidrat arang. Setiap kelompok bahan makanan dianggap mempunyai nilai gizi yang kurang lebih sama (Sukardji, 2002).

h) Pedoman diet
Dalam melaksanakan diet diabetes sehari-hari, hendaknya pasien mengikuti pedoman “3J” yaitu tepat jumlah, jadwal dan jenis, artinya J1: energi yang diberikan harus habis, J2: Jadwal diet harus diikuti sesuai dengan interval yaitu 3jam, J3: Jenis makanan yang manis harus dihindari, termasuk pantang buah golongan A(Tjokroprawiro, 1998).

3) Latihan Jasmani
Latihan jasmani dianjurkan secara teratur yaitu 3-4 kali dalam seminggu selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continuous, rhytmical, interval, progresife, endurance training) (Perkeni, 1998). Menurut Haznam (1991) olahraga dianjurkan karena bertambahnya kegiatan fisik menambah reseptor insulin dalam sel target. Dengan demikian insulin dalam tubuh bekerja lebih efektif, sehingga lebih sedikit obat anti diabetik (OAD) diperlukan, baik yang berupa insulin maupun OHO (Obat Hipoglikemik Oral).

4) Obat berkhasiat hipoglikemik
Pada prinsipnya, pengendalian DM melalui obat ada 2 yaitu :
(1) Obat Anti Diabetes (OAD) atau Obat Hipoglikemik Oral (OHO) yang berfungsi untuk merangsang kerja pankreas untuk mensekresi insulin.
(2) Suntikan insulin. Pasien yang mendapat pengobatan insulin waktu makanannya harus teratur dan disesuaikan dengan waktu pemberian insulinnya. Makan selingan diberikan untuk mencegah hipoglikemia (Perkeni, 1998).

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, 2002 dalam Soegondo. Penyuluhan Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.

Green, Lawrence W., et al. 1980. Health Education Planning Adiagnostic Approach. First Edition. California: Mayfield Publishing Company.

Hartono Andry. 1995. Tanya Jawab Diet Penyakit Gula. Jakarta: Arcan.

Haznam. 1991. Endokrinologi. Bandung: Angkasa Offset.

Kelompok Studi WHO. 2000. Pencegahan Diabetes Mellitus. Jakarta: Hipokraket.

Leslie. R.D.G. 1995. Buku Pintar Kesehatan. Diabetes. Jakarta: Arcan.

Margatan Arcole. 2000. Kiat Sehat Bagi Diabetesi. Solo: CV. Aneka.

Moehyi Sjahmien. 1999. Pengaturan Makanan dan Diet untuk Penyembuhan Penyakit. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Niven, Neil. 2002. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Buku Kesehatan.

Perkani. 1998. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia. Semarang.

Pranadji Diah K. 1997. Perencanaan Menu untuk Diabetes Melitus. Jakarta: Penebar Swadaya.

Smet. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Indonesia.

Soegondo Sidartawan, dkk. 2002. Diabetes Melitus Penatalaksanaan Terpadu. Jakarta: FKUI.

Soewondo. 1994. Simposium Dini Hidup Sehat Diabetes Mellitus. Jakarta: FKUI.

Subekti, 2002 dalam Soegondo. Patofisiologi Diabetes. Jakarta: FKUI.

Sukardji, 2002 dalam Soegondo. Penatalaksanaan Gizi pada Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.

Suyono, 2002 dalam Soegondo. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Pasien Diabetes. Jakarta: FKUI.

Thomas, Briony. 1994. Manual of Dietetic Practice, Second Edition. Inggris: British Dietetic.

Tjokroprawiro, Askandar. 2001. Diabetes Mellitus-Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Tjokroprawiro, Askandar. 2001. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia

June 15, 2008 | Filed Under artikel, kesehatan |

ABSTRAK

pre-eklampsiaPreeklampsia berat (PEB) dan eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Mereka diklasifikasikan kedalam penyakit hypertensi yang disebabkan karena kehamilan. PEB ditandai oleh adanya hipertensi sedang-berat, edema, dan proteinuria yang masif. Sedangkan eklampsia ditandai oleh adanya koma dan/atau kejang di samping ketiga tanda khas PEB. Penyebab dari kelainan ini masih kurang dimengerti, namun suatu keadaan patologis yang dapat diterima adalah adanya iskemia uteroplacentol. Diagnosis dini dan penanganan adekuat dapat mencegah perkembangan buruk PER kearah PEB atau bahkan eklampsia. Semua kasus PEB dan eklampsia harus dirujuk ke rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas penanganan intensif maternal dan neonatal, untuk mendapatkan terapi definitif dan pengawasan terhadap timbulnya komplikasi-komplikasi.
Kata kunci: Preeklampsia berat, eklampsia, iskemia uteroplasenta, hipertensi, edema, proteinuri, kejang dan/atau koma.

PENDAHULUAN

Di Indonesia preeklampsia-eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini pre-eklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan anak(1,2). Perlu ditekankan bahwa sindrom preeklampsia ringan dengan hiper-tensi, edema, dan proteinui sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan; pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain.
Preeklampsia-Eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang secara langsung disebabkan oleh kehamilan. Pre-eklampsia adalah hipertensi disertai proteinuri dan edema aki-bat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita preeklampsia yang disusul dengan koma. Kejang disini bukan akibat kelainan neurologis(2-4). Preeklampsia-Eklampsia hampir secara eksklusif merupakan penyakit pada nullipara. Biasanya terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrem yaitu pada remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur lebih dari 35 tahun. Pada multipara, penyakit ini biasanya dijumpai pada keadaan-keadaan berikut(2):
1) Kehamilan multifetal dan hidrops fetalis.
2) Penyakit vaskuler, termasuk hipertensi essensial kronis dan diabetes mellitus.
3) Penyakit ginjal.

ETIOLOGI

Sampai dengan saat ini etiologi pasti dari preeklampsia/ eklampsi masih belum diketahui.
Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etio-logi dari kelainan tersebut di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory. Adapun teori-teori ter-
sebut antara lain:
1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan(5).
Pada PE-E didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasos-pasme dan kerusakan endotel.

2) Peran Faktor Imunologis(5).
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen placenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya.
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang men-dukung adanya sistem imun pada penderita PE-E:
1. Beberapa wanita dengan PE-E mempunyai komplek imun dalam serum.
2. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada PE-E diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pen-dapat menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada PE-E, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan PE-E.

3) Peran Faktor Genetik/Familial(4,5).
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian PE-E antara lain:
1. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
2. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi PE-E pada anak-anak dari ibu yang menderita PE-E.
3. Kecendrungan meningkatnya frekwensi PE-E pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat PE-E dan bukan pada ipar mereka.
4. Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS)

PATOFISIOLOGI

Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis PE-E. Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel(5). Selain itu Hubel (1989) mengatakan bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara perok-sidase terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih domi-nan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess oksidatif(5).
Pada PE-E serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Se-dangkan pada wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan meng-akibatkan antara lain(2):
a) adhesi dan agregasi trombosit.
b) gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma.
c) terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari rusaknya trombosit.
d) produksi prostasiklin terhenti.
e) terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan.
f) terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak.

KRITERIA DIAGNOSIS

I) Preeklampsia berat
Apabila pada kehamilan > 20 minggu didapatkan satu/ lebih gejala/tanda di bawah ini:
1. Tekanan darah > 160/110 dengan syarat diukur dalam keadaan relaksasi (pengukuran minimal setelah istirahat 10 menit) dan tidak dalam keadaan his.
2. Proteinuria > 5 g/24 jam atau 4+ pada pemeriksaan secara kuantitatif.
3. Oliguria, produksi urine < 500 cc/24 jam yang disertai kenaikan kreatinin plasma.
4. Gangguan visus dan serebral.
5. Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan.
6. Edema paru dan sianosis.
7. Gangguan pertumbuhan janin intrauteri.
8. Adanya Hellp Syndrome (hemolysis, Elevated liver enzyme, Low Platelet count).

PENATALAKSANAAN

A) Penanganan di Puskesmas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di puskes-mas, maka secara prinsip, kasus-kasus preeklampsia berat dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan-persiapan yang dilakukan dalam merujuk penderita adalah sebagai berikut:
- Menyiapkan surat rujukan yang berisikan riwayat pen-derita.
- Menyiapkan partus set dan tongue spatel (sudip lidah).
- Menyiapkan obat-obatan antara lain: valium injeksi, antihipertensi, oksigen, cairan infus dextrose/ringer laktat.
- Pada penderita terpasang infus dengan blood set.
- Pada penderita eklampsia, sebelum berangkat diinjeksi valium 20 mg/iv, dalam perjalanan diinfus drip valium 10 mg/500 cc dextrose dalam maintenance drops.

Selain itu diberikan oksigen, terutama saat kejang, dan terpasang tongue spatel.

B. Penanganan di Rumah Sakit
B.I. Perawatan Aktif
a. Pengobatan Medisinal
1) Segera rawat di ruangan yang terang dan tenang, terpasang infus Dx/RL dari IGD.
2) Total bed rest dalam posisi lateral decubitus.
3) Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.
4) Antasida.
5) Anti kejang:
a) Sulfas Magnesikus (MgSO4)
Syarat: Tersedia antidotum Ca. Glukonas 10% (1 amp/iv dalam 3 menit).
Reflek patella (+) kuat
Rr > 16 x/menit, tanda distress nafas (-)
Produksi urine > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya.
Cara Pemberian:
Loading dose secara intravenas: 4 gr/MgSO4 20% dalam 4 menit, intramuskuler: 4 gr/MgSO4 40% gluteus kanan, 4 gr/ MgSO4 40% gluteus kiri. Jika ada tanda impending eklampsi LD diberikan iv+im, jika tidak ada LD cukup im saja.
Maintenance dose diberikan 6 jam setelah loading dose, secara IM 4 gr/MgSO4 40%/6 jam, bergiliran pada gluteus kanan/kiri.
Penghentian SM :
Pengobatan dihentikan bila terdapat tanda-tanda intok-sikasi, setelah 6 jam pasca persalinan, atau dalam 6 jam ter-capai normotensi.
b) Diazepam: digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4 tidak dipenuhi. Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada pemberian, alih rawat R. ICU.
6) Diuretika Antepartum: manitol
Postpartum: Spironolakton (non K release), Furosemide (K release).
Indikasi: Edema paru-paru, gagal jantung kongestif, Edema anasarka.
7) Anti hipertensi
Indikasi: T > 180/110
Diturunkan secara bertahap.
Alternatif: antepartum Adrenolitik sentral:
- Dopamet 3X125-500 mg.
- Catapres drips/titrasi 0,30 mg/500 ml D5 per 6 jam : oral 3X0,1 mg/hari.
Post partum ACE inhibitor: Captopril 2X 2,5-25 mg Ca Channel blocker: Nifedipin 3X5-10 mg.
8) Kardiotonika
Indikasi: gagal jantung
9) Lain-lain:
Antipiretika, jika suhu>38,5°C
Antibiotika jika ada indikasi
Analgetika
Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1X80 mg/hari
Syarat: Trombositopenia (<60.000/cmm)(7).

b. Pengobatan obstetrik
1) Belum inpartu
a) Amniotomi & Oxytocin drip (OD)
Syarat: Bishop score >8, setelah 3 menit tx. Medisinal.
b) Sectio Caesaria
Syarat: kontraindikasi oxytocin drip 12 jam OD belum masuk fase aktif.
2) Sudah inpartu
Kala I Fase aktif: 6 jam tidak masuk f. aktif dilakukan SC.
Fase laten: Amniotomy saja, 6 jam kemudian pembuatan belum lengkap lakukan SC (bila perlu drip oxytocin).
Kala II Pada persalinan pervaginam, dilakukan partus buatan VE/FE.
Untuk kehamilan <>

B.II. Perawatan Konservatif
Perawatan konservatif kehamilan preterm<37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia, dengan keadaan janin baik.
Perawatan tersebut terdiri dari:
- SM Therapy: Loading dose: IM saja.
Maintenance dose: sama seperti di atas.
Sulfas Magnesikus dihentikan bila sudah mencapai tanda Preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
- Terapi lain sama seperti di atas.
- Dianggap gagal jika > 24 jam tidak ada perbaikan, harus diterminasi.
- Jika sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan, diberikan SM 20% 2 gr/IV dulu.
- Penderita pulang bila: dalam 3 hari perawatan setelah penderita menunjukkan tanda-tanda PER keadaan penderita tetap baik dan stabil.

EKLAMPSIA
Terdapat tanda-tanda PEB disertai koma dan atau kejang.
a) Pengobatan Medisinal
- Rawat di ICU
- Total Bed Rest dalam Snipping position jika Kesadaran menurun Lateral decutitus jika kesadaran CM.
- Pada penderita koma yang lama berikan nutrisi per NGT
- Pasang sudip lidah jika terdapat kejang
- Oksigen kalau perlu
- Pasang Folley Catheter
- Perawatan dekubitus pada penderita dengan kesadaran menurun
- Infus Dx/RL maintenance drops
- Anti kejang

MgSO4 jika persyaratan memenuhi:
LD: –> SM 20% 4 gr/IV/4 menit.
SM 40% 8 gr/IM kanan dan kiri
Jika dalam 20 menit setelah LD terjadi kejang lagi, diberikan SM 20% 2 gr/IV.
Jika dalam 30 menit terjadi kejang lagi diberikan Fenitoin 100 mg/IV perlahan.
MD –> SM 40% 4 gr/IM/6 jam kanan/kiri sampai 24 jam bebas kejang/pasca persalinan.
VALIUM Therapy:
Valium 20 mg/iv perlahan, diikuti drips 10 mg/500 ml Dx dalam 30 tetes/menit. Jika dalam 30 menit masih kejang berikan valium 10 mg/iv perlahan.
Terapi lain sama seperti PEB.

b) Penanganan Obstetrik
Sikap dasar adalah semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Saat terminasi setelah terjadi stabilisasi hemodinamik dan metabolisme ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu keadaan di bawah ini:
? pemberian antikonvulasi
? kejang terakhir
? pemberian antihipertensi terakhir
? penderita mulai sadar
? Cara terminasi sama dengan cara terminasi pada PEB.

c) Evaluasi
1) Ibu: pemeriksaan fisik
- adanya pitting oedema setiap bangun tidur pagi
- pengukuran BB setiap bangun tidur pagi
- menentukan Gestosis Index setiap 12 jam, pagi dan sore
- pengukuran tekanan darah setiap 6 jam
- pengukuran produksi urine setiap 3 jam
- monitoring tingkat kesadaran jika terdapat penurunan kesadaran
Laboratorium:
- Hb, Hematokrit, Urine Lengkap, Asam Urat darah, Trom-bosit, LFT dan RFT
Konsultasi:
- Internist/Kardiolog
- Opthalmolog
- Anesthesi

2) Placenta:
- Human Placental Lactogen
- Estriol

3) Janin
- Fetal Well Being
- Fetal Maturity

PENUTUP
Dalam rangka menurunkan angka kematian maternal dan perinatal akibat preeklampsia-eklampsia deteksi dini dan pe-nanganan yang adekuat terhadap kasus preeklampsia ringan harus senantiasa diupayakan. Hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan mempertajam kemampuan diagnosa para penyelenggara pelayanan bumil dari tingkat terendah sampai teratas, dan melakukan pemeriksaan bumil secara teratur.
Mengingat komplikasi terhadap ibu dan bayi pada kasus-kasus PEB-E, maka sudah selayaknyalah semua kasus-kasus tersebut dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas penanganan kegawatdaruratan ibu dan neonatal.
Demikian makalah mengenai Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia kami rangkum sebagai penyegaran bagi rekan-rekan di daerah. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.

KEPUSTAKAAN
1. Reeder, Mastroianni, Martin, Fitzpatrik. Maternity Nursing. 13rd ed. Philadelphia: JB Lippincott Co, 1976; 23: 463-72.
2. Manuaba Gde IB. Penuntun diskusi obstetri dan ginekologi untuk mahasiswa kedokteran. Jakarta, EGC, 1995; 25-30.
3. Wiknjosastro H, dkk. Ilmu Kebidanan. Ed. ketiga. Cetakan keempat. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 1997; 24: 281-301.
4. Ansar DM, Simanjuntak P, Handaya, Sjahid Sofjan. Panduan pengelolaan hipertensi dalam kehamilan di Indonesia. Satgas gestosis POGI, Ujung Pandang, 1985; C: 12-20.
5. Wibisono B. Kematian perinatal pada preeklampsia-eklampsia. Fak. Ked. Undip Semarang, 1997; 6-12.
6. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. William Obstetrics. Penerjemah: Hariadi R, dkk. Surabaya: Airlangga University Press, 1997; 27: 609-46.
7. Briggs G Gerald B Pharm, Freeman K. Roger, Yaffe JS. Drugs in pregnancy and lactation. 4th Ed. Maryland: William & Wilkins, 1994; 66a.

Pielonefritis

January 29, 2009 | Filed Under Kedokteran, Medical, kesehatan |

DEFINISI

Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada salah satu atau kedua ginjal.

PENYEBAB

Escherichia coli (bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di usus besar) merupakan penyebab dari 90% infeksi ginjal diluar rumah sakit dan penyebab dari 50% infeksi ginjal di rumah sakit. Infeksi biasanya berasal dari daerah kelamin yang naik ke kandung kemih.
Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah oleh aliran air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan ureter di tempat masuknya ke kandung kemih.

Berbagai penyumbatan fisik pada aliran air kemih (misalnya batu ginjal atau pembesaran prostat) atau arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi ginjal.

Infeksi juga bisa dibawa ke ginjal dari bagian tubuh lainnya melalui aliran darah. Keadaan lainnya yang meningkatkan resiko terjadinya infeksi ginjal adalah:
- kehamilan
- kencing manis
- keadaan-keadaan yang menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi.

GEJALA

Gejala biasanya timbul secara tiba-tiba berupa demam, menggigil, nyeri di punggung bagian bawah, mual dan muntah.

Beberapa penderita menunjukkan gejala infeksi saluran kemih bagian bawah, yaitu sering berkemih dan nyeri ketika berkemih.

Bisa terjadi pembesaran salah satu atau kedua ginjal. Kadang otot perut berkontraksi kuat. Bisa terjadi kolik renalis, dimana penderita merasakan nyeri hebat yang disebabkan oleh kejang ureter. Kejang bisa terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi atau karena lewatnya batu ginjal.
Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat ringan dan lebih sulit untuk dikenali.
Pada infeksi menahun (pielonefritis kronis), nyerinya bersifat samar dan demam hilang-timbul atau tidak ditemukan demam sama sekali.
Pielonefritis kronis hanya terjadi pada penderita yang memiliki kelainan utama, seperti penyumbatan saluran kemih, batu ginjal yang besar atau arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter (pada anak kecil).

Pielonefritis kronis pada akhirnya bisa merusak ginjal sehingga ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (gagal ginjal).

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas. Pemeriksaan yang dilakukan untuk memperkuat diagnosis pielonefritis adalah :
- pemeriksaan air kemih dengan mikroskop
- pembiakan bakteri dalam contoh air kemih untuk menentukan adanya bakteri.
USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya batu ginjal, kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air kemih lainnya.

PENGOBATAN

Segera setelah diagnosis ditegakkan, diberikan antibiotik. Untuk mencegah kekambuhan, pemberian antibiotik bisa diteruskan selama 2 minggu. 4-6 minggu setelah pemberian antibiotik, dilakukan pemeriksaan air kemih ulang untuk memastikan bahwa infeksi telah berhasil diatasi.
Pada penyumbatan, kelainan struktural atau batu, mungkin perlu dilakukan pembedahan.

PENCEGAHAN

Seseorang yang sering mengalami infeksi ginjal atau penderita yang infeksinya kambuh setelah pemakaian antibiotik dihentikan, dianjurkan untuk mengkonsumsi antibiotik dosis rendah setiap hari sebagai tindakan pencegahan.

Lamanya pengobatan pencegahan yang ideal tidak diketahui, tetapi seringkali dihentikan setelah 1 tahun. Jika infeksi kembali kambuh, maka pengobatan ini dilanjutkan sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan.